WIB

Selasa, 29 Januari 2008

Jangan Biarkan Bali Jadi Hawai Kedua

Prof Dr dr LK Suryani, SpKJ
Reporter
TAMI


Bali adalah Sorga Dunia, keindahan alam dan keunikan budaya yang dimilikinya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing dan domestic. Bahkan banyak orang mengatakan, sebelum benar-benar kembali ke surga, harus terlebih dahulu mengunjungi surga dunia, yakni di Bali yang lazim disebut "The Island of Paradise ini."


Banyaknya wisatawan asing yang datang ke Bali, melahirkan image, bahwa Bali adalah tempat yang sangat kaya dan potensial mendapatkan pekerjaan. Image indah yang juga menarik kaum urban berjubel dan hidup di Bali. Pertambahan penduduk pun tak dapat dibendung. Bagaimana cara mengatasinya? Berikut nukilan wawancara khusus Reporter Media ini dengan Prof Dr dr LK Suryani, SpKJ seorang psikiater yang getol memperhatikan masalah ini karena kecintaannya yang mendalam terhadap budaya Bali yang unik.

Bagaimana pendapat anda terhadap terus meningkatnya penduduk luar masuk ke Bali?

Kedatangan kaum urban mula-mula memang sangat membantu, tapi kalau keadaannya seperti sekarang sangat membahayakan budaya Bali. Mereka seharusnya ikut membantu, tapi kalau keadaannya seperti sekarang, sangat membahayakan budaya Bali. Mereka seharusnya ikut membantu Bali karena makan dan hidup di Bali. Namun kenyataan yang terjadi banyak yang merasa bahwa Bali adalah milik mereka. Mereka menganggap saya yang kuasa dan orang Bali harus menjadi pembantu saya. Inilah yang membahayakan buat kita semua.

Berarti sudah ada benih kekhawatiran yang amat serius di lubuk hati orang asli Bali sendiri?

Pendatang tidak lagi memberikan kenyamanan hidup bagi masyarakat Bali, tapi justru mau merebut semua yang ada di Bali untuk menjadi bagian dalam hidupnya. Hal yang lebih membahayakan ketika mereka menggunakan agama sebagai ajang untuk mengubah orang Bali. Banyak yang mengatakan bahwa agama Hindu disini bukan agama, atau tidak cocok karena menghabiskan waktu terlalu banyak saat melakukan upacara. Kelompok tertentu berusaha mengalihkan mereka untuk berpindah agama, atau tidak cocok karena menghabiskan waktu terlalu banyak saat melakukan upacara. Kelompok tertentu berusaha mengalihkan mereka untuk berpindah agama dengan iming-iming tertentu. Misalnya membantu lewat uang, lewat fasilitas dengan syarat harus pindah agama. Kalau ini dibiarkan tentu akan terjadi benturan-benturan dan orang bali akan merasa tidak nyaman. Jangan mengagamakan orang Bali tetapi rasakanlah bagaimana toleransi orang Bali itu.

Toleransi yang Anda maksud seperti apa?

Semua yang datang adalah nyama (saudara). Kita saling menghargai dan menghormati. Dulu orang Bali membuatkan daerah khusus untuk para pendatang. Seperti kampung Jawa, kampung Islam, Kampung Cina, Kampung Arab dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan, karena orang Bali tidak ingin mengganggu dan tidak ingin diganggu. Namun sekarang orang Bali merasa sangat terganggu.

Tindakan apa yang harus dilakukan?

Cara terbaik adalah membatasi jumlah penduduk pendatang. Bali ini sudah terlalu banyak penduduk pendatang. Orang-orang Bali pun jangan mau diberikan uang hanya untuk mengeluarkan ijin untuk tempat tinggal. Beberapa pejabat dengan mudah memberikan ijin kepada penduduk pendatang setelah diberikan uang. Kenapa kita tidak mau melihat kejadian Bom Bali sebagai teguran Tuhan, dalam arti maukah orang Bali menggunakan tanahnya sendiri untuk berusaha, jangan berikan atau sewakan untuk orang lain. Orang Bali harus hidup dan berjuang untuk dirinya sendiri, jangan menjadi pembantu dan makelar. Itu hanya keuntungan sesaat, tapi untuk berikutnya anak cucu kita tidak akan memiliki tempat dan lahan pekerjan.

Siapa yang lebih berperan dalam menangani masalah ini?

Yang berperan adalah kita sebagai masyarakat. Jangan menunggu pemerintah atau pihak tertentu karena akan dikonotasikan tindakan berbau SARA. Sekarang kita tidak ingin budaya Bali hilang, tidak ingin Bali itu terganggu, dan tidak ingin menjadi Betawi kedua. Jika kita tidak waspada, Bali akan menjadi Hawai kedua. Masyarakat Bali tidak akan menjadi apa-apa di rumah sendiri.


Konkritnya?

Saya minta orang Bali tidak hanya berpikir hari ini. Memang sekarang kita bisa nyaman, bisa duduk santai karena ada orang yang menggali parit kita, dan ada yang memanen padi kita, namun itu hanya sesaat. Semua orang akan berubah dan kita akan menjadi pembantu. Mari kita lihat Buleleng dan Tabanan. Dahulu, terkenal sebagai daerah kaya dan tidak pernah ada pembantu yang berasal Buleleng dan Tabanan. Mereka mengenyam pendidikan di Bali atau di Jawa. Tapi di Denpasar sekarang banyak orang Buleleng yang menjadi pembantu. Itu menunjukkan orang Bali harus berpikir tidak hanya untuk hari ini, tapi berpikirlah untuk masa depan. Jangan sampai menjadi pembantu atau terusir dari Bali karena tidak mampu mengelola apa-apa.

Apalagi, sekarang banyak sekali yang menebar isu bahwa orang Bali sangat malas, tidak bisa dilatih dan tidak memiliki motivasi juang, sehingga jika ada orang yang membuka usaha, tidak akan mempekerjakan orang Bali. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa orang Bali terlalu sibuk dengan upacara agama dan sibuk libur, yang mengakibatkan kerugian dalam bisnis. Mari kita orang Bali dengarkan ini. Dulu kita terkenal rajin, patuh dan kreatif. Namun sekarang inilah yang keluar, hanya ejekan seperti orang Bali yang dikatakan sibuk, jual tanah untuk membeli sepeda motor, membeli bakso dan sate. Padahal pendatang sibuk jualan. Leluhur Bali pasti akan lebih marah, apalagi sampai Bali ini diambil orang lain.


Bukankah dalam kenyataannya orang Bali banyak yang malas ?

Memang sekarang kita malas tapi apakah kita mau seperti ini terus? Dulu orang Bali tidak pemalas. Generasi saya terkenal rajin, kreatif, tidak hanya di Bali tapi diseluruh dunia. Bagaimana cara kita agar melahirkan generasi yang tidak hanya pandai tapi kreatif dan sehat. Orang-orang asing datang kesini ingin menikmati dan belajar. Tetapi generasi baru, karena dibesarkan dengan kekayaan dan materi yang berlimpah dan tidak diberikan kesempatan mengerjakan aktifitas rumah tangga yang kecil-kecil.

Jadi jurang sebenarnya ada dibidang pembangunan apa?

Orang tua sekarang tidak ingin anaknya seperti dia dahulu. Mereka menganggap pendidikan pendidikan orang tuannya dahulu seperti membersihkan rumah, mencuci piring atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya, tidak ada artinya dan tidak mendidik anak. Akibatnya mereka hanya menugaskan anaknya untuk belajar dan belajar, tidak pernah disuruh cuci piring. Saya memiliki pengalaman nyata tentang ini. Seorang mahasiswa saya jurusan kedokteran, meski sudah sarjana, membuat teh saja tidak bisa. Itu contoh bagaimana kita tidak mau mempelajari hal yang kecil.

Apa yang menarik dari Bali sehingga banyak kaum urban belakangan ini?

Mereka mengira ini semua hujan dollar. Memang teman-temannya yang berusaha di Bali mengatakan gampang mencari uang. Di derah asalnya menjadi buruh itu susah dan murah. Tidak seperti di Bali, buruh sekarang Rp 40 ribu perhari, sedangkan di rumahnya Rp 20 ribu saja tidak ada yang mengupahnya. Kan lebih enak di Bali. Sehingga pengusaha-pengusaha yang berusaha di Bali, memikirkan dapat mengeruk keuntungan.

Ingatlah bahwa orang Bali jangan menganggap perusahaan yang ada di Bali adalah perusahaan orang Bali. Perusahaan itu hanya singgah sejenak, jika masih manis, dan bisa dinikmati, mereka tetap menikmati. Tapi kalau sudah tidak bisa menghasilkan keuntungan, jelas pergi. Di sini jika tidak dilindungi pemerintah dan hanya orang Bali, tetapi seluruh rakyat Indonesia akan mengalami kehancuran. Apalagi dengan adanya perdagangan bebas, sepertinya mereka siap mencari keuntungan yang besar, karena perdagangan bebas sama dengan neo kolonialisme

Yang kedua, pada waktu saya menghadiri seminar, seorang mahasiswa menyapa saya ambasador, itu sangat memalukan. Padahal dalam bahasa Inggris kita harus distinguis guest (membedakan) dengan menyebut yang mulia. Anak- anak tidak pernah lagi dilatih bekerja di rumah dan tidak dilatih untuk menghormati orang lain. Memang sekarang jaman reformasi, tapi jangan kebablasan. Dalam bermasyarakat,sopan santun harus tetap diperhatikan.


Apa yang harus dilakukan masyarakat penduduk yang terlanjur masuk ke Bali?

Kalau ingin bangkit dari ketertinggalan maka perlu perbaikan diri. Apapun jenis pekerjaannya itu adalah pekerjaan yang dapat meningkatkan diri kita. Mulailah dari diri sendiri. Maukah orang Bali bekerja apa saja yang bisa dikerjakan. Jangan semua ingin menjadi pegawai restoran atau hotel. Pekerjaan rumah tangga pun pekerjaan yang menjanjikan. Gaji seorang pembantu rumah tangga paling kecil Rp 400 ribu bersih. Kalau dia pintar, dia bisa dapat lebih banyak. Kerjapun tidak lagi 24 jam. Mereka mirip pegawai, siang bisa istirahat. Sore dan malam pun bisa istirahat, karena tuan rumah sudah mengerti keadaan dan tidak ingin menjadikan mereka budak

Jadi semua pekerjan memiliki nilai untuk hidup seseorang?

Jangan menganggap pekerjaan itu tidak ada nilai. Saya punya seorang pasien yang tetap memilih menjadi pegawai honorer padahal sudah lebih dari 20 tahun meski dengan gaji minim. Katanya malu kalau tinggal nganggur di rumah. Padahal kalau dia mau menggoreng kerupuk hasilnya jauh lebih tinggi. Bekerja di kantor tentu dimarahi, diperintah dan di tegur. Kalau mau menggoreng kerupuk dan memasarkan sendiri, tidak ada masalah.

Banyak pekerjaan yang bisa direbut. Ambil alihlah semua pedagang kaki lima. Jadilah orang Bali seperti dulu. Orang Bali yang bekerja keras. Kalau kita sudah mulai merebut, pasti mereka akan pergi. Tapi tidak perlu menyuruh mereka pergi. Mental kita harus diperbaiki, berjuang tidak hanya untuk perut sendiri tapi untuk Bali.

Yang kedua pengusaha-pengusaha jangan mencari keuntungan semata. Sekarang banyak pengusaha yang mengeluhkan karyawannya tidak bisa bekerja. Kalau semua mengeluh dan hanya mengeluh dan hanya memikirkan diri sendiri, jadilah seperti sekarang. Pemerintah juga harus melindungi, jangan hanya diam. Buatlah aturan yang mengharuskan pengusaha mengikuti aturan yang dibuat. Misalnya buruh harus banyak orang Bali. Kalau tidak mau, jangan diberikan ijin untuk membuka usaha.


BIODATA :
Nama : Prof dr dr Luh Ketut suryani, SpKJ
Lahir : Singaraja, 22 Agustus 1944
Alamat : Jl. Gandapura No.12 Denpasar
Suami : Prof Dr dr Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK

Anak :
1. Ir Cokorda Putra Surya Adnyana
2. Ir Cokorda Alit Indra wardhana
3. dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana
4. Cokorda Raka Satrya Wibawa, ST
5. Cokorda Rai Adi Pramartha,ST
6. Cokorda Anom Indra Jaya,ST


Jabatan:
1. Kepala Lab Psikiatri FK Universitas Udayana
2. Ketua IV Yayasan Wreda Sejahtera Bali
3. Ketua Perhimpunan Psikiatri Budaya Indonesia
4. Ketua Yayasan Putra Sesana
5. Wakil Ketua Perhimpunan Gerontologi Indonesia Cabang Bali
6. Wakil Ketua Lembaga Pengkajian Budaya Bali ( Society for Balinesse Studies )
7. President Foundation of Traditional Holistic Healing In Bali
8. Ketua Perhimpunan Gerontologi Medisine Cabang Bali ( Pergemi )



DAPUR REDAKSI

Denpasar, Bali, Indonesia
Pemimpin Umum: GN Wididana. Wakil Pemimpin Umum: Agus Urson HP. Manajer Keuangan: M. Ayu Lidyawati. Pemimpin Redaksi: Albert Kin Ose M. Redaktur Pelaksana: Benny Uleander. Koordinator Liputan: Indah Wulandari Sekretaris Redaksi: Ni Ketut Ernawati. Staf Redaksi: Heni Kurniawati, Didik Purwanto, Ni Wayan Nita, Roro Sawita (Bali), Agus Salam (Jakarta), Wuri Wigunaningsih (Surabaya), Hernawardi (Mataram). Fotografer: Putu Wirnata. Desain Grafis & Lay Out: Thomas Sandhi, Wahyu, Adi. Kartunis: Kadek Fajar. Kontak redaksi e-mail: koranpakoles@yahoo.co.id. Percetakan: PT ANTAR SURYA JAYA SURABAYA.